Pertambakan di Bratasena sudah ada menjelang tahun 1990. Waktu itu, wilayah ini masuk dalam administrasi kampung Sungai Burung, kecamatan Menggala. Penduduk kampung Sungai Burung merambah daerah Bratasena dan membuka pertambakan secara tradisional. Pinggiran laut dibuat petakan-petakan tambak sedangkan area tengah dibuat pertanian. Dengan alat seadanya para perambah perlahan menggali tanah untuk membuat petakan tambak dan kanal untuk mengalirkan air laut ke dalam. Semakin hari jumlah petambak semakin banyak, jumlah gubuk-gubuk untuk menunggu tambak juga bertambah. Secara alamiah mulailah terbentuk kampung tambak informal walaupun secara administrasi masih masuk di kampung Sungai Burung.
Para petambak melakukan budidaya tambak secara semi tradisional, dengan artian hanya menggunakan alat-alat yang sederhana dan sedikit tambahan pakan pabrik. Jenis budidaya adalah udang dan bandeng. Hasil panen dipasarkan ke pasar lokal, pengepul dan pabrik Philip. Mereka bebas melakukan penjualan ke manapun mengikuti harga yang sesuai.
Tahun 1992 para petambak diundang pertemuan sosialisasi di kampung Sungai Burung oleh aparat TNI dan perusahaan yang waktu itu belum diketahui namanya. Dalam pertemuan tersebut pihak TNI dan perusahan memberikan informasi bahwa mereka akan membantu petambak dengan permodalan dan bantuan biaya hidup. Mendengar kabar ini para petambak menyambut baik dan bersedia didata serta membubuhkan tanda tangan mereka.
Beberapa waktu kemudian datang puluhan alat berat seperti eskavator ke area tambak. Pihak TNI dan perusahaan menjelaskan bahwa alat berat tersebut untuk melakukan pembuatan dan perbaikan petak – petak tambak menjadi lebih besar serta akan membuat kanal air besar untuk saluran keluar masuk air laut. Diumumkan pula agar petambak mengambil ganti rugi lahan garapan di kantor yang dibuat perusahaan di kampung Sungai Burung. Nilai ganti rugi yang diberikan 3 juta per 4 hektar untuk tambak dan 150 ribu per hektar untuk pertanian. Para petambak menolak penggusuran ini, mereka tidak mau melepaskan lahan mereka. Melihat penolakan dari petambak, pihak TNI dan perusahaan kemudian melakukan intimidasi kepada petambak bahwa yang tidak mau menerima ganti rugi akan ditangkap dan rumahnya dibakar. Karena warga belum mempunyai wadah perjuangan bersama, mereka akhirnya dapat dilumpuhkan oleh TNI dan perusahaan dan akhirnya terpaksa menyerahkan lahan mereka. Sampai sekarang ganti rugi inipun ada yang belum dibayarkan dengan alasan yang tidak jelas. Setelah pembayaran ganti rugi lalu per keluarga yang memiliki petak tambak kemudian diberi kartu plasma yang gunanya nanti untuk pendaftaraan petambak plasma.
Pihak perusahaan (PT. Central Pertiwi Bahari) kemudian melakukan pembuatan petak tambak besar-besar seluas 3.460 hektar untuk tambak plasma, belum termasuk area pabrik dan tambak karyawan. Sejak 1992 – 1995 perusahaan membangun juga berbagai infrastruktur seperti kanal, jalan poros, sub road dan cold storage, rumah petambak, workshop, GOR, mess karyawan dan lain-lain. Setelah semua infrastruktur dan sistem siap, lalu perusahaan mengumumkan kepada penerima kartu plasma bahwa pendaftaran petambak plasma dibuka. Ribuan calon petambak plasma mendaftar kepada manajemen perusahaan. Dalam pendaftaran itu petambak harus mengikuti syarat yang diharuskan oleh perusahaan yaitu membeli lahan tambak sekaligus rumahnya dan mengikuti seluruh peraturan yang diterapkan oleh perusahaan. Harga lahan 1 hektar sekaligus rumah dipasang sebesar 120 juta rupiah. Pembayaran dilakukan dengan cara cicilan dengan mekanisme sertifikat yang telah dibuatkan atas nama per petambak dijaminkan kepada bank namun keuangannya dikelola oleh perusahaan sepenuhnya. Setiap petambak mendapat beban pinjaman sebesar 145 juta dengan rincian 120 juta untuk pembelian tanah dan rumah, 25 juta untuk modal usaha. Uang sebesar 145 juta ini diberikan bank kepada perusahaan selaku penjamin para petambak. Uang modal usaha 25 juta juga dikelola oleh bank yang akan diberikan kepada petambak dalam bentuk bibit, alat produksi, pakan dan lain-lain, sehingga petambak tidak menerima sepeserpun dari hasil pinjaman tersebut.
PT.CPB dan petambak melakukan perjanjian kerjasama (PKS) sebelum budidaya dilakukan. Dalam PKS tersebut dijelaskan bahwa perusahaan sebagai pihak inti lalu petambak disebut sebagai plasma. Pihak perusahaan berkewajiban memberikan pinjaman biaya operasional produksi yang meliputi benih, alat, pakan, listrik, dan lain-lain, serta pinjaman biaya hidup per bulan sebesar 1,5 juta per petambak. Petambak plasma mempunyai kewajiban memenuhi target hasil panen udang yang telah ditentukan perusahaan, membayar pinjaman operasional setelah hasil panen dan mengikuti seluruh tata tertib perusahaan termasuk pola budidaya dan cicilan pengembalian hutang.
Pola budidaya yang dilakukan petambak sudah diatur dan ditetapkan oleh pihak perusahaan. Waktu tebar, jumlah benih, jumlah pakan, waktu pakan, jumlah kincir, alat-alat pertambakan semua sudah diatur dan dijadwal oleh perusahaan. Petambak tidak punya hak untuk menolak atau mengubah apa yang telah diatur perusahaan. Perusahaan akan mengirim segala kebutuhan yang telah ditetapkan perusahaan kepada petambak. Jika dalam pelaksanaan petambak melakukan efisiensi, maka perusahaan tidak akan mengakui sehingga ketika panen perusahaan akan memotong hasil panen dengan catatan biaya operasional yang dimiliki oleh perusahaan. Dengan kondisi seperti ini petambak tidak memungkinkan untuk melakukan efisiensi biaya operasional supaya keuntungan lebih besar.
Hasil panen petambak sebenarnya melebihi apa yang sudah ditargetkan oleh perusahaan. Sebagai contoh sebelum pola budidaya parameter baru (BPB) dalam 1 petak 500 m2 dengan benih 600 ribu bisa menghasilkan udang 9-10 ton di atas target perusahaan 7-8 ton. Pola budidaya parameter baru dengan benih 250 ribu udang di petak 500 m2 dapat menghasilkan 3,5 ton dari target perusahaan 2,8 ton. Seharusnya petambak mendapat keuntungan banyak namun karena besarnya biaya operasional yang ditanggung maka petambak hanya mendapat keuntungan kecil atau bahkan sering merugi. Ketika petambak merugi maka perusahaan akan memberikan pinjaman operasional dan biaya hidup kembali kepada petambak, yang artinya hutangnya semakin bertumpuk.
Kampung tambak semakin terbentuk dan akhirnya memiliki kampung sendiri yang kemudian dinamakan kampung Bratasena Adiwarna dan Bratasena Mandiri yang dipimpin oleh kepala desa. Ada 4 blok (blok 71, blok RND (81), blok 1 dan 2). Di blok 1 ada 60 jalur dengan jumlah rata-rata 20 rumah per jalur, blok 2 ada 32 jalur dengan jumlah rumah rata-rata 20 rumah, blok 71 ada 58 jalur dengan jumlah rumah rata-rata 30 rumah, dan blok RND ada 6 jalur dengan jumlah rumah rata-rata 20 rumah. Di setiap 2 jalur dibentuk Ketua RT. Infrastruktur yang tersedia adalah sekolah dari tingkat TK sampai SMP, sedangkan SMU berada di desa penyangga yaitu Pasiran Jaya, rumah sakit (medical) ada 3 lokasi yang dibangun perusahaan, masjid 3 lokasi dan mushola di masing-masing sub-road, pasar infra dan kantor pemerintahan desa. Kampung penyangga di sekililing PT.CPB adalah Pasiran Jaya, Sungai Burung, Pendowo Asri, Sungai Nibung dan Cabang.
Akses keluar masuk ke lokasi pertambakan harus melalui pos penjagaan perusahaan. Seluruh aktivitas keluar masuk lokasi harus diperiksa oleh penjaga pos perusahaan. Usaha-usaha yang berada di dalam lokasi seperti penjualan air bersih, pasar, dll harus melalui ijin SIUP ke perusahaan. Selain pertambakan, PT.CPB juga memiliki karyawan ribuan yang mengerjakan pengupasan udang di cold storage dan karyawan pemantau tambak di lapangan. Karyawan pengupasan udang berasal dari berbagai desa dan daerah dan mengontrak di sekitar wilayah lokasi (kampung penyangga).
PT. Central Pertiwi Bahari adalah anak perusahaan PT.Prima, PT. Prima adalah anak perusahaan Phokpan dari Thailand. Perusahaan ini bergerak dalam penyediaan bahan pangan yang berbasis protein seperti ikan, udang, ayam. PT. Prima juga memiliki pabrik pakan dan obat-obatan untuk mendukung usaha pertambakan dan peternakan seperti di Tanjung Bintang. PT. CPB juga memiliki anak perusahaan Wahyuni Mandira (WM) dan Aruna Wijaya Sakti (AWS) yang waktu itu dibeli setelah diambilalih oleh pemerintah ketika skandal BLBI yang melibatkan Samsul Nursalim. PT. WM dan AWS bergerak di bidang yang sama yaitu pertambakan namun lokasinya di Mesuji OKU Sumatra Selatan. 2 perusahaan ini yang mensuplai udang kepada PT.CPB yang kemudian diekspor.
Menurut beberapa warga Bratasena, PT.CPB mengalami kemunduran kondisi keuangan akibat beban perusahaan yang tinggi dan kondisi ekspor yang melemah. Hal ini yang disinyalir kemudian memicu berbagai kebijakan yang merugikan petambak. Biaya pakan terus dinaikkan, biaya listrik yang tinggi dan biaya operasional petambak yang tidak masuk akal. Sebagai contoh di tahun 2012 perusahaan mengatakan bahwa mereka mengalami kerugian, sehingga mereka akan membuat perubahan dengan menerapkan pola budidaya baru yaitu parameter baru.
Sebelum-sebelumnya, para petambak memiliki tim perwakilan plasma bentukan perusahaan yaitu Tim PKS (perjanjian kerjasama) yang kemudian diubah menjadi TPKPP yang isinya dari unsur perangkat kampung. Menurut warga tim ini justru lebih banyak berpihak kepada perusahaan daripada petambak plasma dengan bukti ketika pembicaraan ulang terkait perjanjian kerjasama (PKS) tim ini terlalu mengikuti apa yang diinginkan oleh perusahaan. Ketika warga mendesak kepada tim, mereka malah membubarkan tim ini sehingga di petambak Plasma mengalami kebuntuan. Atas dasar kekosongan inilah kemudian para tokoh dan warga berinisiatif membentuk Forum silahturahmi petambak plasma (Forsil) yang tujuannnya menjadi wadah bagi petambak plasma menyampaikan aspirasi kepada perusahaan. Deklarasi pembentukan forsil dihadiri ribuan anggota dan diresmikan oleh Camat Dente Teladas. Statement salah satu manajemen perusahaan juga menyambut baik berdirinya forsil ini. Berbagai pertemuan antara perwakilan Forsil dan perusahaan dilakukan, berbagai keluh kesah petambak juga disampaikan salah satunya meminta penurunan biaya operasional. Namun pihak perusahaan mulai berubah dan tidak suka dengan sikap kritis dari perwakilan forsil yang menanyakan dan meminta berbagai hal. Kemudian perusahaan tidak mau bertemu dan bernegosiasi kembali dengan Forsil.
Sikap kritis plasma yang menanyakan tingginya biaya operasional dijawab perusahaan dengan akan dilakukan pola budidaya parameter baru. Pola baru ini dilakukan untuk efisiensi seperti pengurangan benih yang ditebar (dari 600 ribu ekor menjadi 250 ribu ekor), 10 kincir air menjadi 5 kincir dan waktu budidaya yang diperpendek. Seluruh plasma diminta tanda tangan persetujuan oleh perusahaan. Ada beberapa pengurus Forsil yang mencoba mempertanyakan pola baru ini, namun mereka dianggap menolak sistem baru yang dikeluarkan perusahaan dan akhirnya 9 orang pengurus Forsil diputus kontrak kerjasamanya. Akibat pemutusan kerja sama ini artinya 9 orang tersebut tidak bisa tebar benih lagi, tidak mendapat pinjaman biaya hidup dan diharuskan meninggalkan lokasi pertambakan.
Pemutusan kerjasama 9 orang ini memicu anggota forsil untuk menggugat dan menuntut perusahaan agar mereka dipekerjakan kembali. Perusahaan justru arogan dan tetap bertahan atas keputusannya. Kemudian perusahaan juga memberhentikan 400 istri anggota Forsil yang bekerja mengupas udang di cold storage tanpa alasan yang masuk akal yaitu karena suami mereka adalah anggota forsil. Untuk membuat tandingan terhadap Forsil, perusahaan membentuk organisasi plasma yang mendukung perusahaan yang diberi nama P2K (Paguyuban Pro Kemitraan). Melalui organisasi ini warga ditakut-takuti jika tidak bergabung dengan P2K maka mereka akan dipecat dan diputus kontraknya. Mendapat intimidasi dan ancaman ini banyak petambak yang kemudian terpaksa bergabung dengan P2K dan keluar dari Forsil. Mulai saat itulah konflik antar plasma dimulai. Warga dewasa hingga anak-anak terpecah dalam 2 organisasi plasma yang berbeda secara keberpihakan dan pilihan. Forsil berkali-kali meminta untuk bernegosiasi secara baik-baik dengan perusahaan namun selalu tidak ditanggapi.
Bulan Desember 2012, perusahaan tiba-tiba menghentikan tebar benih kepada seluruh petambak plasma dengan alasan situasi yang tidak kondusif. Sejak saat itu pula mereka tidak mendapat pinjaman biaya hidup. Kondisi petambak secara ekonomi menjadi menurun karena tidak punya pekerjaan karena tidak bisa budidaya lagi dan tidak ada biaya hidup. Merespon kondisi ini para petambak kemudian melakukan penanaman sayur, singkong dan hortikultura lain yang bisa untuk penghasilan. Jika beras telah habis mereka mengolah singkong menjadi tiwul dan mencari ikan di kanal sekedar untuk dijual kiloan dan makan sehari-hari. Sebagian petambak melakukan budidaya mandiri karena sudah terlalu lama menunggu perusahaan. Pompa-pompa air milik perusahaann yang selama ini dipakai untuk menaikkan dan membuang air telah diambil semua oleh perusahaan. Untuk bisa melakukan budidaya mandiri petambak harus membuka tanggul agar air laut bisa masuk ke dalam tambak. Hari itu warga ramai-ramai membuka tanggul bersama-sama. Selang beberapa hari, warga yang bernama Supriyadi alias Edi Gading yang sedang mengunjungi keluarganya di luar kampung, ditangkap polisi dan dibawa ke Polda Lampung dengan alasan melakukan perusakan asset perusahaan yaitu tanggul tambak. Forsil kemudian menyerahkan masalah ini kepada kuasa hukum mereka untuk membebaskan Supriyadi. Namun hingga Maret 2013 ini Supriyadi belum bisa dibebaskan.
Pada Februari 2013, P2K membuat portal di pinggir jalan-jalan strategis. Mereka melakukan pemeriksaan dan intimidasi kepada anggota forsil yang melintas untuk segera keluar dari forsil dan dijanjikan fasilitas dana oleh perusahaan. Anggota forsil mencoba menahan emosi untuk menghindari benturan fisik dengan membiarkan kegiatan tersebut. Pada tanggal 11 maret 2013, ketua umum Forsil yaitu Cokro melakukan pengajian di kampung Pasiran Jaya rumah bapak Mubayin sampai jam 12.00 malam. Ketika perjalanan pulang rombongan ketua umum yang berjumlah 25 orang dicegat oleh anggota P2K, pam swakarsa dan preman. Mereka melarang rombongan tersebut untuk melintas. Untuk menghindari bentrokan rombongan ketua umum memutuskan untuk kembali ke Pasiran Jaya dan menginap di rumah bapak Mubayin. Ketika menginap di Pasiran Jaya, rumah pak Mubayin dikepung oleh 50an orang. Berita ketua umum forsil yang dilarang kembali ke rumah ini kemudian menyebar ke banyak anggota forsil dan mereka berencana untuk menjemput keluar, namun dilarang oleh ketua umum mereka. Tengah malam Kapolsek datang menemui ketua umum forsil dan bilang tidak bisa berbuat apa-apa. Keesokan harinya pihak Polres Tulang Bawang menawarkan mobil polisi untuk membawa masuk hanya ketua umum saja, namun ditolak oleh ketua umum. Ketua umum meminta 1 bus untuk mengangkut 25 orang masuk kembali ke kampung, namun Polres menyanggupi sore hari karena bus sedang diperbaiki.
Pada waktu yang bersamaan, di pertigaan PLO massa P2K, preman dan pam swakarsa berkumpul dengan senjata parang, pemukul, ketapel, batu dan eskavator yang digunakan untuk tameng. Anggota forsil mandiri yang akan berangkat menjemput ketua umum dicegat oleh massa ini di pertigaan PLO. Massa forsil dan P2K sudah berhadap-hadapan dengan jarak 100 meteran. Polisi dan tentara berada di tengah-tengah antara mereka mencoba bernegosiasi dan sudah dicapai kata sepakat untuk masing-masing menarik massa. Namun tiba-tiba ada insiden pelemparan batu yang berasal dari pihak P2K yaitu Ispintanyo yang kemudian pecah bentrokan kedua belah pihak. Polisi dan tentara yang mengetahui secara langsung bentrokan ini justru minggir dari TKP. Massa forsil mulai terdesak mundur kalah massa dan persenjataan, padahal di belakang mereka telah diblokir oleh massa P2K juga.
Massa Forsil Adiwarna mendengar bahwa saudaranya di forsil Mandiri telah terdesak dan banyak yang terluka. Forsil Adiwarna kemudian bergerak menuju lokasi bentrokan untuk membantu. Massa P2K mulai terdesak dan lari ke segala arah termasuk melompat masuk kanal. 3 orang karyawan perusahaan yang melompat ke kanal tidak bisa berenang karena masih memakai sepatu boot, akhirnya meninggal. Setelah bentrokan selesai kemudian massa P2K dan karyawan diinstruksikan oleh perusahaan untuk mengungsi keluar dari rumah mereka. Dibantu oleh Brimob, massa P2K mengungsi ke GOR dan kontrak rumah di desa penyangga.
Setelah kejadian bentrok, PT.CPB melakukan konferensi pers di Bandar Lampung dan menuduh massa forsil telah berbuat anarkis menyerang massa P2K dan karyawan sehingga ada korban jiwa. PT.CPB menyebutkan bahwa forsil menolak rencana perusahaan untuk melakukan budidaya parameter baru sehingga forsil mengintimidasi plasma lain dan melakukan penyerangan bagi plasma yang bersebrangan dengan forsil. Perusahaan juga menyebutkan bahwa kondisi Bratasena mencekam dan tidak aman karena diduga forsil menyisir rumah-rumah anggota P2K dan melakukan perusakan serta pembakaran. Selain perusahaan yang melakukan konferensi pers, perwakilan P2K melakukan pengaduan ke kantor Kontras dan Komnas HAM dan memutarbalikkan fakta yang sebenarnya. Mereka juga telah melaporkan orang-orang forsil atas bentrokan tanggal 12 maret 2013 kepada polisi.
Kondisi kampung Bratasena berangsur pulih. Warga yang tersisa adalah anggota forsil karena anggota P2K telah meninggalkan rumahnya atas instruksi dari perusahaan. Warga anggota forsil yang di lokasi sudah 4 bulan telah nganggur tidak bekerja. Penjual air bersih yang biasanya keliling mensuplai tiap rumah warga plasma kini dilarang beroperasi oleh pihak perusahaan. Selama 9 hari pasca bentrok warga tidak memiliki sumber air bersih untuk dikonsumsi, sehingga mereka terpaksa mengkonsumsi air hujan yang mereka tampung untuk keperluan mandi.
Tanggal 18 Maret 2013 perwakilan Forsil yang diwakili oleh Wagiono, Bibit dan Tekad melakukan pengaduan konferensi pers di Komnas HAM Jakarta untuk menceritakan kejadian bentrok yang sebenarnya. Dalam pengaduan tersebut mereka menjelaskan kronologi kejadi sebelum hingga sesudah bentrokan dan mengklarifikasi seluruh tuduhan-tuduhan fitnah yang ditujukan kepada Forsil. Tanggapan Komnas HAM akan melakukan pertemuan mediasi dengan berbagai pihak pada tanggal 22 Maret 2013 di Pemkab Tulang Bawang agar konflik segera selesai. Tanggal 19 maret 2013, perwakilan ini kemudian melanjutkan konferensi pers di Kantor Aliansi Jurnalis Independen Bandar Lampung. Di hadapan para wartawan perwakilan Forsil menjelaskan kronologi bentrokan seperti apa yang telah mereka sampaikan di Komnas HAM.
Pada tanggal 21 Maret 2013, KomnasnHAM yang diwakili komisioner Nasution melakukan kunjungan ke Forsil dan mendengarkan berbagai penjelasan yang disampaikan pengurus Forsil terkait bentrokan dan akar masalah yang selama ini terjadi. Hari berikutnya, yaitu tanggal 22 maret 2013, Forsil menghadiri pertemuan mediasi yang diselenggarakan oleh Pemkab Tulang Bawang dan Komnas HAM. Dalam pertemuan tersebut dihadiri Bupati, Wakil Bupati, Ketua Komnas HAM, GM PT.CPB dan ketua DPRD Tulang Bawang. Dalam pertemuan tersebut pihak PT. CPB mengatakan tidak mau bekerjasama dengan plasma yang tergabung di dalam Forsil.