“Water has become a highly precious resource. There are some places where a barrel of water costs more than a barrel of oil.”

Lloyd Axworthy, Foreign Minister of Canada (1999 – News Conference)

Peringatan Hari Air Sedunia atau World Water Day, setiap tanggal 22 Maret, menandai sebuah perayaan dan kampanye atas pentingnya air bagi seluruh bentuk kehidupan di muka bumi. Peringatan tersebut ditujukan untuk menarik perhatian seluruh masyarakat dunia untuk turut berperan serta melindungi sumber daya air dari bentuk-bentuk pengelolaan yang berpretensi merusak. Sehingga kelangsungan kehidupan, utamanya bagi umat manusia,  dapat terus dapat terus terjaga.

Merunut sejarahnya, Hari Air Sedunia dicetuskan untuk pertama kalinya pada saat digelarnya United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Pembangunan dan Lingkungan oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992. Pada Sidang Umum PBB ke-47 yang dilaksanakan pada tanggal 22 Desember 1992, keluarlah Resolusi Nomor 147/1993 yang menetapkan pelaksanaan peringatan Hari Air se-Dunia setiap tanggal 22 Maret dan mulai diperingati pertama kali pada tahun 1993.

Pada setiap tahunnya PBB menentukan tema peringatan yang berbeda-beda, sesuai dengan fokus kerja yang direncanakan. Tahun 2013, tema peringatan Hari Air yang dicanangkan oleh PBB adalah Water Cooperation. Dalam penjelasannya, tema Water Cooperation ditujukan untuk meningkatkan kesadaran untuk bekerjasama dalam menghadapi tantangan dalam pengelolaan air berupa peningkatan akses, alokasi serta pelayanan atas air.

Pandangan berbeda dikemukakan oleh jaringan yang tergabung dalam Water Justice Movement yangmenilai bahwa tema dan isu yang dikembangkan oleh PBB dalam Hari Air Sedunia tersebut sarat dengan kepentingan bisnis dari korporasi-korporasi besar. Perusahaan-perusahaan seperti Nestlé atau Agbar, ditengarai telah turut “bermain” dalam meng-goal-kan ide untuk meningkatkan kerjasama pengelolaan air yang berujung privatisasi. Kerjasama yang dikembangkan dengan perusahaan air multinasional selama ini justru mengakibatkan krisis air di masing-masing daerah.

KMMSAJ (Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta) Menolak Kerjasama dengan skema Bisnis (PPP/Privatisasi), air harus dikembalikan ke dalam domain publik. Campur tangan aktor swasta telah terbukti menjadi kendala dalam pemenuhan Hak Atas Air dan Sanitasi, persis yang sedang dihadapai oleh DKI Jakarta saat ini. Operator swasta – yang secara nyata melakukan mark up biaya kelola air, menggelapkan aset publik serta merahasiakan hak – hak konsumen yang ada dalam kontrak – dapat dengan gampang melenggang pergi dengan menjual sahamnya ke swasta lain.

Lebih lanjut KMMSAJ menuntut Bank Dunia untuk bertanggung jawab atas krisis air yang menimpa Indonesia dan Negara Berkembang lainnya. Dalam sejarahnya, Bank Dunia telah mensponsori proses privatisasi yang berkembang. Secara khusus, proses privatisasi sektor sumber daya air di Indonesia berlangsung sejak Bank Dunia menawarkan pinjaman sebesar 92 Juta USD kepada PAM Jaya, tahun 1991, untuk perbaikan infrastruktur, sekaligus “menyarankan” pemerintah untuk menyediakan peluang Partisipasi Sektor Swastadalam penngelolaan layanan air . Hasilnya perusahaan air raksasa yaitu Thames Water Overseas Ltd. dan Suez berebut menguasai sistem air Jakarta, dan berakhir dengan ditandatanganinya kontrak konsesi berjangka 25 tahun oleh kedua perusahaan tersebut dengan perusahaan lokal pengelola PAM Jaya, pada tahun 1997. Bank Dunia juga menyokong operator swasta di Jakarta dalam program GPOBA

Paradigma baru pengelolaan air paska reformasi, ditandai dengan masuknya program WATSAL (Water Resources Sector Structural Adjustment Loan) yang mulai dirintis oleh Bank Dunia sejak bulan April 1998. Perjanjian pinjaman sebesar 300 juta USD, pada 28 Mei 1999, tersebut mengakibatkan pergeseran paradigma yang dianut oleh pemerintah, bahwa dalam pengelolaannya, keniscayaan air sebagai barang publik dapat dirubah oleh suatu kelompok menjadi barang privat yang bebas untuk diperdagangkan. Perubahan paradigma ini semakin dikukuhkan dengan terbitnya UU SDA no. 7/2004 pada tingkat nasional, dan konsepsi Integrated Water Resources Management (IWRM) maupun Public-Private Partnership (PPP) menjadi solusi andalan pemerintah untuk segala masalah.

Keterlibatan Bank Dunia dalam pengelolaan air di Indonesia tidak menjadikan pelayanan dan kualitas air menjadi lebih baik, bahkan sebaliknya semakin buruk dan menambah beban kerja perempuan, yang berujung pada penindasan dan kekerasan. Perempuan di Rawa Badak misalnya, mengeluhkan air yang keruh, bau, tidak dapat dikonsumsi, serta tidak lancer, sementara harus bayar mahal.”Kami harus menunggu air hingga pukul 02.00 pagi” Ujar ibu Halimah. Akibat peran gender perempuan, 90% kehidupan perempuan bergantung pada air bersih.

Perampasan air adalah pelanggaran atas Resolusi PBB, pada Juli 2010, yang menetapkan bahwa Air merupakan Hak Asasi Manusia. Pemerintah Republik Indonesia pun telah ikut menanda tangani resolusi tersebut. Sehingga pemerintah wajib menjamin “PEMENUHAN”, “PERLINDUNGAN” dan “PENGHORMATAN” hak tersebut. Lebih lanjut hal itu berarti tidak seorangpun boleh diputus aksesnya terhadap air karena alasan ekonomi, penerapan mekanisme pasar dalam pelayanan air minum adalah pelanggaran konstitusi (inkonstitusional). Sejalan dengan konstitusi  pasal 33 UUD 1945, maupun pasal 2 UU No.5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA). Pengakuan air sebagai barang publik semakin dipertegas oleh penafsiran Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terhadap UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang menyakan bahwa “Air merupakan res commune dan oleh karenanya harus tunduk pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, sehingga pengaturan tentang air harus masuk ke dalam sistem hukum publik yang terhadapnya tidak dapat dijadikan objek pemilikan dalam pengertian hukum perdata”.

Dalam rangka itu, KMMSAJ (Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta) menyerukan;

  1.  PEMERINTAH HARUS MENGEMBALIKAN ESENSI AIR SEBAGAI HAM YANG DILINDUNGI OLEH KONSTITUSI.
  2. SUMBER DAYA AIR WAJIB DIKELOLA SECARA DEMOKRATIK OLEH LEMBAGA PUBLIK, DENGAN DANA PUBLIK UNTUK KEPENTINGAN PUBLIK.
  3. PEMERINTAH WAJIB MENGHAPUS UNDANG-UNDANG ATAU PERATURAN KEBIJAKAN LAIN YANG MELEGITIMASI PRIVATISASI.
  4. HENTIKAN KETERLIBATAN LEMBAGA-LEMBAGA DONOR, TERMASUK WOLRD BANK, YANG SELAMA INI BERPERAN SEBAGAI BIANG DARI BENCANA.
  5. BATALKAN DAN HENTIKAN KONTRAK-KONTRAK YANG MERUGIKAN PERUSAHAAN-PERUSAHAAN PENGELOLA AIR.
  6. PEMERINTAH WAJIB MEMENUHI DAN MELINDUNGI HAK ATAS AIR BAGI MASYARAKAT, LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN.
  7. MENUNTUT GUBERNUR DKI JAKARTA AGAR MENOLAK PENJUALAN SAHAM SUEZ DI PALYJA KE MANILA WATER BENTUKAN IFC BANK DUNIA.

 

 

Tinggalkan komentar